Belajarlah pada gunung, Anakku. Gunung bukan tentang keangkuhan, di puncak heningnya melimpah kerendahan hati | ©JelajahSuwanto |
Pada awal Agustus 2020, Keluarga Suwanto sepakat ingin memerdekakan diri setelah berbulan-bulan #DiRumahSaja. Gunung Lembu di ketinggian 792 mdpl akan menjadi pendakian pertama #KenSiPenjelajahKecik di masa pandemi. Ternyata, juga menjadi pengalaman pertama ngecamp di puncaknya. Gunung Lembu dikatakan memiliki trek sedang, cocok bagi pemula bahkan anak-anak.
Malam sebelum keberangkatan, saya berselancar
memastikan apakah Gunung Lembu sudah kembali dibuka pada masa new normal ini. Tidak
ada sosial media atau website khusus milik pengelola pendakian Gunung Lembu. Namun, terima kasih pada update sosmed zaman now, khususnya Instagram. Melalui
hashtag #gununglembu, di menu recent
bisa terlihat siapa-siapa saja yang baru mendaki. Random saya DM salah satunya,
Mas Ihan Pratama. Gayung bersambut, cepat sekali ia merespon. Bahkan saya
diberi kontak salah satu pengelola Gunung Lembu.
Langit, bumi dan segala isinya, gunung gemunung, daratan dan perairan, hirup dan cecaplah, Nak. Kamu akan belajar banyak hal dari alam | ©JelajahSuwanto |
Sisi lain Waduk Jatiluhur dan bentang alam Purwakarta diabadikan dari salah satu jalur pendakian Gunung Lembu | ©JelajahSuwanto |
Di Mana Gunung Lembu?
Gunung Lembu terletak di Kampung Panunggal yang
secara administratif berada di Desa Panyindangan, Kecamatan Sukatani,
Purwakarta, Provinsi Jawa Barat. Untuk mencapai basecamp Gunung Lembu kami percayakan pada si Mbak bersuara nyaring
di aplikasi Google Maps. Dan begitulah, entah ke berapa kalinya (tapi gak
kapok-kapok), perjalanan bersama si Mbak selalu dag dig dug ser. Sebab settingan
fastest route itu seringnya ‘menyesatkan’. Dari tol Purbaleunyi, Jelajahsuwanto
keluar pintu tol Jatiluhur terus ke Jalan Ciganea hingga jalan raya
Sukatani. Nah di jalur ini, kami diarahkan melalui Pasar Anyar Sukatani yang jalannya
sempit, walau bisa dilalui roda empat. Jalan yang diberikan si Mbak tidak recommended.
Masuk ke jalan ini agak tanda tanya,
berasa terjebak di tengah keruwetan pasar (dan memang begitu adanya,
sebenar-benarnya pasar). Sebentar kemudian kami ketemu perlintasan kereta api dan
jalanan bumpy. Badan jalan semakin
mengerucut hanya cukup 1 roda empat sepanjang lebih kurang 2 km. Ah, ya, 2
kali kami berpapasan mobil bikin grogi. Puji Tuhan, yang pertama pengendara
lain mundur-mundur cantik kemudian berhenti di semacam halaman kantor lurah,
entah apalah. Yang kedua sebelum belokan, Puji Tuhan lagi-lagi, kami bisa
minggir tepat waktu. Masuk ke halaman orang tanpa permisi.
Tak lama jalur pintas itu (yang ternyata tidak lebih
cepat) usai juga. Kami sah berada di jalan yang benar. Pyuuuh. Pulangnya kapok tidak akan melewati jalan yang sama. Harusnya tadi tak
usah melalui Pasar Anyar Sukatani, lurus saja dulu sekitar 1Km, baru belok menuju
arah jalan Panyindangan (toh dari Pasar Sukatani nanti keluar di jalan ini
juga). Jalur yang tepat melewati plang PT. Gunung Kecapi.
Kontur jalan mostly naik kelak-kelok, sebagian mulus, lainnya grunjal-grunjel. Badan jalan pas selebar dua mobil, sementara pinggirannya tinggi agak mengkhawatirkan jika sampai ban terperosok. Kabar seru di jalur ini kami bersenang-senang mainan klakson. Apapun jalurnya ingat selalu cermat dan waspada, gak boleh petakilan bawa mobil.
Gunung Parang dan kawan-kawannya terlihat dari jalur pendakian Gunung Lembu, tak jauh dari pos 1 Lapang Kapal | ©JelajahSuwanto |
Pedesaan Purwakarta nan asri diabadikan dari jalur pendakian Gunung Lembu | ©JelajahSuwanto |
Fasilitas Pendakian Gunung Lembu
Gunung Lembu dikelola swadaya atas inisiatif masyarakat lokal dengan dukungan pihak pemerintah desa, LMDH dan Perhutani. Boleh dikatakan fasilitas untuk wisata pendakian cukup memadai. Tempat parkir, kamar kecil, mushola, tempat camp, dan warung makan lengkap tersedia. Bahkan di puncak gunung ada satu warung yang bisa memenuhi kebutuhan standar pendaki.
Tempat Parkir
Kira-kira pukul 14.30, Aki bule demikian lelaki sepuh
yang mendapat julukan dari warga setempat itu mengarahkan kami ke lapangan parkir di bawah kebun jati.
Konon, Aki bule berdarah Belanda, tapi Basa Sundanya medok pisan, jangankan Bahasa Walanda,
Bahasa Indonesia pun Aki patah-patah. Datang juga Nini yang seperti halnya
urang Sunda, ramah dan murah senyum. Aki dan Nini menyambut kami dengan hangat.
Kata Aki tempat parkir di samping basecamp penuh, biasa kalau malam Minggu
banyak yang mendaki. Tidak mengapa parkir di lapang karena pasti aman, akan Aki
jaga, janjinya. Biaya parkir mobil jika bermalam Rp.15ribu, kalau mau dilebihkan boleh banget.
Pendaki daftar dulu di Basecamp Gunung Lembu | ©JelajahSuwanto |
Basecamp Gunung Lembu satu tempat dengan Warung Nasi Abah Haji Adang | ©JelajahSuwanto |
Basecamp Gunung Lembu
Basecamp Gunung Lembu dipenuhi rombongan pendaki yang sedang bersiap-siap. Kami harus mendaftar dengan mengisi buku tamu, menuliskan jam kedatangan, jumlah orang dan nama PIC serta nomor kontaknya. Dicantumkan juga apakah akan tektok (langsung turun) atau ngecamp (menginap) di puncak Gunung Lembu. Biaya Pendaftaran per orang Rp.10ribu untuk yang tektok dan Rp.15ribu kalau ngecamp. Lokasi basecamp jadi satu dengan warung nasi Abah Haji Adang. Paginya kami sarapan nasi merah dengan ayam goreng, enak dan terjangkau.
WC Kamar Kecil
Ada beberapa “kamar kecil” di basecamp, dekat meja pendaftaran. Selain itu di beberapa warung sekitar basecamp juga menyediakan WC. Bijak-bijaklah menggunakan
air, seperlunya saja karena di lokasi ini air tidak selalu melimpah. Lepas turun
gunung, kami ingin sekali membersihkan diri, apa daya kamar kecil ditutup, persediaan
air habis. Saya kira di pegunungan yang di bawahnya menghampar waduk Jatiluhur
tak akan kekurangan air. “Airnya belum datang lagi, Neng. Mungkin baru nanti
sore,” Bapak pemiliki warung mie ayam tepat di seberang basecamp menjelaskan.
Mengaso di Basecamp Gunung Lembu | ©JelajahSuwanto |
Lokasi Basecamp Gunung Lembu di Kampung Panunggal, Desa Panyindangan, Kecamatan Sukatani, Purwakarta, Provinsi Jawa Barat | ©JelajahSuwanto |
Saung Ceria bukan Saung Ceu Ria
“Tektok atau
ngecamp?” Ibu berkerudung coklat di meja pendaftaran bertanya saat saya
sedang menuliskan nama. “Belum tahu, Bu. Rencananya setelah sunset mau turun
karena enggak bawa perlengkapan. Gak bawa tenda juga,” jawabku ragu.
“Oh, nggak bawa tenda ya? Atuh tidur aja di saung Ceu
Ria,” kata si Ibu memberi arahan. Demikianlah otak saya memproses hasil
tangkapan bunyi itu sebagai saung miliknya Ceu Ria (Ceu adalah panggilan Kakak
Perempuan dalam basa Sunda).
“Oh boleh ya, Bu menginap di saung Ceu Ria?” Saya berusaha mengumpulkan informasi sebanyak mungkin.
“Ya boleh atuh. Da saungnya teh besar pisan, tiasa kali nampung 100 orang mah. Nanti barengan aja sama yang lain upami tos aya nu duluan di sana.” Si Ibu menerangkan dengan logat Sunda-nya yang masih terngiang sampai sekarang. “Di depan saung oge ada lapangan luas, biasana nu ngadaki pada buat tenda di situ. Pada ngadamel api unggun juga. Seru pastilah.” Lanjutnya dengan mata berbinar laksana suluh.
Saung Ceria #Cateet | ©JelajahSuwanto |
Yes, semangat. Jangan menyerah, Nak. Ayo mendaki taklukkan dirimu! | ©JelajahSuwanto |
Pos-Pos di Jalur Pendakian
Lokasi Ground Camping Pos 1 Lapang Kapal, rasanya pengen ngedit | ©JelajahSuwanto |
#KenSiPenjelajahKecik adu keberanian menaiki jembatan bambu Pos 1 Lapang Kapal | ©JelajahSuwanto |
Enggak jauh dari Pos 1, naik beberapa menit ada satu warung lagi dengan view Gunung
Parang yang lebih jelas. “Mangga mampir di sini, Neng.
Kalau mau ngecamp juga silakan” Ibu setengah
baya berkerudung biru menawarkan tempat. Dua tenda oranye terpasang di muka
warung. Panorama dari lokasi ini cukup menarik. Gugusan gunung dan pedesaan
nun di seberang sana menghadiahi kami kecerlangannya.
Semula Keluarga Suwanto berencana segera turun gunung setelah sunset, langsung balik ke Jakarta, atau bahasa pendakinya tektok. Akan tetapi, mengingat jalur perjalanan seperti yang diceritakan di awal, rupa-rupanya memicu niatan baru di kepala Pak Suami. “Kita ngecamp aja ya, baru balik setelah sunrise.” Suprisingly, anak-anak mengamini. Padahal perlengkapan dan persiapan jauh dari memadai. Bahkan outfit yang saya kenakan tak yakin sanggup menahan angin gunung di malam hari. Kalau untuk anak-anak, mereka cukup aman karena ada persediaan hoodie di tas.
Ngaso lagi, lama tak mendaki ngos-ngosan juga. Setelah Pos 1 Lapang Kapal Jalur Pendakian Gunung Lembu| ©JelajahSuwanto |
Gunung Parang yang terkenal dengan via ferrata-nya terlihat jelas dari jalur pendakian Gunung Lembu | ©JelajahSuwanto |
Pos 2 posisinya berada di punggung gunung. Persinggahan ini juga menyiapkan tempat
beristirahat, sebuah warung lengkap dengan saungnya. Kami bertanya pada Ibu dan
Bapak penjaga apakah boleh bila nanti jadi bermalam, kami menginap di
saungnya? Ibu dan Bapak dengan senyum merekah sama sekali tak keberatan. Biarpun
tak membawa tenda, urusan ngecamp no problem, ada solusi beberapa alternatif
saung.
Pos 3 terasa hening, senyap. Sebuah bangku menguarkan aroma bambu dipatok diantara dua pohon di sisi batu besar. Cahaya senja romantis menelisip dari balik rimbun pepohonan. Saya tak
ingin berlama-lama di tempat ini. Auranya terasa ‘dingin’ bukan adem. Hanya di pos 3 yang tak ada penjaganya.
Tak ingin berlama-lama meski cahaya senja romantis menelisip dari balik rimbun pepohonan, Pos 3 Jalur Pendakian Gunung Lembu | ©JelajahSuwanto |
Pos 3 Jalur Pendakian Gunung Lembu tak ada warung atau saung hanya bale bambu | ©JelajahSuwanto |
Puncak Gunung Lembu
Dataran tertinggi Gunung Lembu dekat sekali dari Pos 3. 'Puncak Lembu 792 mdpl Panyindangan PWK' salah satu tulisan di papan bercat hitam itu adalah trofi untuk #KenSiPenjelajahKecik. Yes, he did it. Adek kecik berhasil mendaki puncak.
Sebuah tenda terpasang di tanah landai bulan Agustus yang padat dan
kering. Sementara bongkah andesit menjadi privilese si empunya tenda. Selain menaungi dari angin malam, batu besar ini bak singgasana tuk menyesap semburat senja dari puncak tertinggi Gunung Lembu. Sempurna.
Sewaktu kembali turun gunung saya mulai bawel mengingatkan adek kecik untuk berhati-hati melompati tali pancang tenda. Puncak Lembu telah dipadati tenda aneka warna, berjejer rapat hingga pinggir jalan setapak. Weekend kali ini, rupanya Gunung Lembu full house kedatangan banyak tamu. Bisa jadi karena Jumat sebelumnya hari Libur Idul Adha.
Puncak Gunung Lembu 792 mdpl | ©JelajahSuwanto |
Monyet liar di Puncak Gunung Lembu 792 mdpl | ©JelajahSuwanto |
Batu Lembu
Pada petang yang
berangin kami tiba di Batu Lembu. Sebuah batu raksasa yang menyangga Gunung Lembu. Ikonik. Lokasinya tidak jauh dari puncak menuruni sedikit tebing curam. Rumpon-rumpon nelayan, Waduk
Jatiluhur, pemukiman warga, bentang alam pedesaan, perbukitan dan gunung
gemunung terlukis cantik sekali. Tak heran area papak Batu Lembu menjadi favorit, semakin malam semakin banyak pendaki
berdatangan. Namun seperti ada kesepakatan bersama, tidak boleh mendirikan tenda di atas Batu Lembu.
Warung dengan bilik bambu standby saat malam Minggu atau hari libur. Pendek kata warung buka ketika banyak pendaki bermalam. Pemiliknya keluarga muda dengan anak lelaki balita yang ceriwis. Mereka hanya menyediakan minuman
panas dan dingin, rokok, sedikit camilan instan dan pop mie. Padahal ngebayangin mie rebus atau bala-bala pakai cengek, hangat-hangat pedas di tengah dingin kabut gunung.
#KenSiPenjelajahKecik berubah jadi lizardman turun naik merayapi Batu lembu | ©JelajahSuwanto |
Edi, monyet Gunung Lembu tak mau ketinggalan menyambut fajar pertama di Batu Lembu | ©JelajahSuwanto |
Kerlip cahaya malam di Batu Lembu | ©JelajahSuwanto |
Rute Pendakian Gunung Lembu
Kendatipun diceritakan Gunung Lembu termasuk kategori pendek, belajar dari pengalaman, jangan pernah meremehkan Gunung dengan berlaga sok-sokan. Kamu tidak akan pernah bisa mengukur ketinggian gunung sampai kamu tiba mencapai puncaknya.
Peta rute pendakian Gunung Lembu Purwakarta | ©JelajahSuwanto |
Rute pendakian Gunung Lembu dari Basecamp dipetakan menjadi 5 Lokasi. Pertama Pos 1, lalu Pos 2, Pos 3, Puncak Lembu dan terakhir Batu Lembu.
Estimasi waktu pendakian kurang lebih 2,5 jam dengan
kecepatan santai menyesuaikan si pendaki kecik. Ancar-ancar waktunya dari basecamp sampai pos 1,
lanjut ke Saung Ceria antara 15-30 menit. Pos 1 ke pos 2 sekitar 30 menitan. Pos
2 menuju pos 3 rasanya lebih lama mungkin 30-45 menitan. Pos 3 hingga puncak
kurang dari 15 menit. Puncak ke Batu Lembu tidak sampai 10 menit.
Memasuki Gapura Wilujeng Sumping, jalur pendakian sudah terlihat nanjak | ©JelajahSuwanto |
Solidaritas pendaki rendah hati saling berbagi, dipandu rombongan pendaki Karawang | ©JelajahSuwanto |
Jalur Pendakian Gunung Lembu
Jalur pendakian Gunung Lembu tergolong komplit. Sensasi damai, ngos-ngosan, memacu adrenalin juga sedikit mistis, dapat semua. Medannya boleh dibilang menantang dari kontur tanah berbatu-batu, tanjakan dan turunan curam, hutan pegunungan yang didominasi bambu serta punggung gunung dengan jurang di setiap sisinya. Dua makam keramat berada antara pos 2 menuju pos 3. Pusara Mbah Jongrang Alakadomas di tengah jalan tak jauh dari pos 2 dan petilasan Mbah Raden Suryakencana sebelum pos 3.
"Mbah Jongrang dan Mbah Raden Suryakencana itu karuhun nu ngageugeh daerah ieu. Mamang tidak tahu sejarah pastinya. Sepertinya mereka dari kerajaan yang dahulu berkuasa di sini." Itu saja informasi yang kami dapat mengenai keberadaan dua makam keramat di jalur pendakian Gunung Lembu.
Puncak gunung memang tujuan kita, tapi semua kebahagiaan dan pertumbuhan terjadi saat kita mendaki | ©JelajahSuwanto |
Pengelola menyediakan tali-tali pengaman untuk membantu pendaki naik turun tebing terjal di jalur pendakian Gunung Lembu | ©JelajahSuwanto |
Memasuki gapura Wilujeng Sumping, jalur sudah nampak tajam mendaki. Mamang pengelola mengarahkan karena membawa adek kecil sebaiknya nanti di setiap pertigaan ambil trek ke arah kanan. Trek ini agak memutar tidak terlalu nanjak.
Untuk mensiasati trek terjal pengelola membuat undak-undakan semacam tangga. Mereka juga menyediakan tali pengaman untuk berpegangan di setiap tanjakan atau turunan curam. Musim kemarau memaksa daun-daun berserak menutupi jalan setapak yang keras berdebu. Kondisi ini bila kurang hati-hati mengakibatkan pijakan jadi licin. Untuk itu penting sekali memakai alas kaki yang “menggigit”.
Naik turun punggung gunung justru bikin #KenSiPenjelajahKecik ketagihan. Meski memacu adrenalin, pemandangan dari beberapa tempat memang spektakuler. Apalagi boleh memanjat batu-batu besar yang belum pernah dilihatnya. Dari atas batu-batu hitam padat itu, sejauh mata memandang Jatiluhur dan pedesaan Purwakarta alangkah memukau.
So, yes Gunung Lembu dari basecamp Kampung Panunggal bisa direkomendasi ramah anak.
Semangat, enjoy the trek! | ©JelajahSuwanto |
Jalan setapak yang kurindukan di Jalur Pendakian Gunung Lembu| ©JelajahSuwanto |
Gunung Lembu dan Sejarah Terjadinya
Mamang pengelola
Gunung Lembu dengan iket sunda di kepalanya menyambut kami siang itu. Ia hangat
dan kebapakan, sabar meladeni obrolan ngalor ngidul para pendaki. Ketika ditanya kenapa
namanya Gunung Lembu, ia jujur tidak keminter. Mamang jawab mengenai penamaan
lembu itu beliau tidak tahu pastinya, nama itu sudah turun temurun, “…dari
sananya atos kitu, Neng.”
Infografis Gunung Lembu| ©JelajahSuwanto |
Gunung Lembu disebut demikian, bila membaca infografis yang terpasang di basecamp ternyata karena bukit batu itu
jika dilihat dari arah timur terlihat seperti lembu yang sedang duduk.
Sementara Gunung Lembu sendiri terjadi dari proses
sumbat lava di tepian Waduk Jatiluhur. Di bawah Gunung Lembu terdapat sumbat lava
yang menancap ke bawah, semula berupa magma yang membeku. Sumbat lava itu
dipengaruhi oleh panas matahari, dingin, akar tumbuhan dan guyuran hujan, maka
sumbat lava itu kemudian membelah diri. Sedikitnya ada 62 bukit batu yang
merupakan sumbat lava dari gunung api purba. Pantas saja samar bau belerang sesekali terbawa angin di jalur pendakian.
Semoga kalian diberkati keberanian menggengam puncak impian, bersukacita dalam perjuangan | ©JelajahSuwanto |
Bongkah-bongkah andesit di jalur pendakian Gunung Lembu | ©JelajahSuwanto |
Jangan Sompral & Jangan Kosong Pikiran
Saya bertanya pada Mamang, apakah ada pantangan ketika mendaki Gunung Lembu. Bagaimanapun, kita para
pendaki tetap harus menghormati kearifan lokal setempat. Apalagi kami bawa anak kecil, berjaga-jaga saja.
Mamang berpesan “Jangan sompral aja sama ulah kosong pikirannya.” Minggu kemaren ada serombongan yang kesurupan. "Sembuh satu masuk ke satunya, terus begitu sampai tengah malam," lanjutnya.
“Ada juga anak laki-laki gondrong dari Karawang, dari pos 1 tos katingali pucet. Mamang bilang jangan dilanjut kalau gak kuat naik mah, tapi keukeuh maksa pengen sampai puncak. Mungkin gengsi atau gimana, untung anaknya kuat. Bener, besoknya cerita di jalan diikuti cewek cantik, tapi akhirnya menghilang dekat makam.”
Edi si monyet usil Gunung Lembu | ©JelajahSuwanto |
Edi dan kawan-kawan, Gerombolan Monyet Usil
Orang-orang tertawa
di bawah sana, ada juga yang berhas-has hus-hus mengusir sesuatu. Oalah,
astaga, si Mas sulung kami sedang rebutan kotak makan sama monyet berbulu
kelabu dengan nyali besar. Mereka agresif dan tidak takut pada manusia.
Kawanan monyet masih banyak dijumpai di hutan Gunung Lembu, area puncak dan Batu Lembu. Edi begitu saja pendaki menamainya, dia lincah merebut apa saja yang dibawa pendaki di area Batu Lembu. Sebelumnya, kacang sukro si adek berhasil digondol kawanan itu dalam mode silent secepat kilat.
Beberapa pendaki terlihat ketakutan, ada juga yang malah mengganggu monyet-monyet ini. Ketika kali ini Edi mengincar tas tangan seseorang, sontak pendaki lain ribut mengingatkan. Edi tak gentar ia memamerkan taring runcingnya. Jangan-jangan perilaku meresahkan kawanan monyet ini sebenarnya ada andil dari pendaki juga.
Senja di Gunung Lembu | ©JelajahSuwanto |
Senja di Gunung Lembu | ©JelajahSuwanto |
Sunset & Sunrise Di Batu Lembu
Sebelum surya terbangun, kami menunggunya di bibir tebing, di atas Batu Lembu. Tentu saja, fajar hari itu mutlak kepunyaan semesta. Biar datang pertama, spot terbaik harus dibagi bersama yang lain. Kudu legowo, ketika adab sopan santun ada kalanya terlupakan ego. Belum lagi ketika Edi dan kawanannya ingin jua menikmati cahaya pertama. Bagaimanapun terbit mentari di atas Batu Lembu layak dinantikan. Seperti harapan ia menyemangati.
Fajar pertama dari pelataran Batu Lembu | ©JelajahSuwanto |
Bagaimanapun terbit mentari
di atas Batu Lembu layak dinantikan. Seperti harapan ia menyemangati. | ©JelajahSuwanto |
Gunung & Pendaki, Cermin Toleransi dan Kerendahan Hati
Ada semacam kode
tak tertulis diantara para pendaki. Biasanya mereka memiliki empati yang besar,
solidaritas tinggi, kerelaan berbagi dan membantu tanpa pamrih. Seperti
pengalaman Keluarga Suwanto di Gunung Lembu, di saung berlantai bambu dengan
baju seadanya tanpa perlengkapan gunung, kami kedinginan. Sulung dan adek jelas
gelisah sulit memejamkan mata. Bukan saja berbaring tak nyaman, juga karena
dingin mengigit meski kami impit-impitan. “Bu, ini dipakai selimutnya biar adek
bisa tidur.” Suara lembut dari gadis pendaki yang barengan tidur di saung itu sungguh menghangatkan.
Atau saat mula pendakian, kami berjalan di depan rombongan pendaki Karawang. Begitu tiba di pertigaan tanpa papan petunjuk, rombongan dari Karawang dengan senang hati memandu sampai di Camp Ceria. “Kita mau ngecamp di sini. Semoga berhasil sampai puncak.” Sambil berbagi senyum, kami bersayonara.
Pendaki menunggu matahari terbit di pelataran Batu Lembu | ©JelajahSuwanto |
Subuh di pelataran Batu Lembu, berbondong-bondong pendaki menempati spot terbaik untuk menangkap sunrise. Rombongan pemuda jenaka tak henti berbalas kekonyolan. Mereka menyalakan parafin, menjerang air sama riuhnya dengan bercanda. Tak lama udara menguarkan aroma kopi. Sekelompok kawan kantor duduk bersebelahan, lantang berbagi cerita seperti kriuk camilan dan harum popmie yang dibawanya. Udara kini berbau kopi dan popmie.
Pendaki terniat turun dengan carrier dan tripodnya. Sepasang muda-mudi dengan pakaian merah mencolok sibuk bervlog live di keriuhan pagi Batu Lembu. Udara kini beragam raksi. Dan serombongan lelaki dengan celana 3/4 sibuk mencari tempat, beberapa berteriak memanggil kawannya, lalu wudhu di depan, di bibir tebing tempat sunrise digadang-gadang. Bekas air wudhu basah menggenang. Tempat landai itu nyaris penuh. Mereka sempat urung, naik lagi mungkin ke tendanya. Lantas datang kembali dan puji Tuhan mendapatkan tempat untuk sholat berjamaah.
“Kalau ada juara sholat yang paling cepat, aku pasti yang menang” seorang dari
rombongan pemuda jenaka menyeletuk, disambut gerai tawa yang lainnya. Udara kini menjadi kehidupan. Demikianlah
toleransi dijunjung di atas gunung. Kita saling menghargai dan menghormati.
P.S:
Hai #KenSiPenjelajahKecik, Ayah Bunda bangga loh Ken berhasil mendaki dan turun Gunung Lembu. Melakukannya dengan riang dan antusias, meski kita gak prepare sama sekali. Dan ternyata makan popmie di puncak gunung berlipat-lipat nikmatnya, ya.
Wah, Seru, Mbak, pengalamannya mendaki bersama si kecil.
BalasHapusIya Mbak, seru banget :)
HapusKeren banget ini meski nekat juga tanpa prepare ngecamp di Gunung Lembu! Wah, ternyata segitu banyak pendakinya ya Mbak...Dan beneran memang jangan pernah meremehkan ketinggian gunung. Teteup biarpun cuma sekian akan butuh perjuangan. Trek bersahabat begini pas memang buat pemula dan anak ya...
BalasHapusDan sepadan trekking-nya, sunset dan sunrise-nya warbiyaaaa!
Iyess, Mbak Dian. Pemandangan dari puncak sepadan sama serunya pendakian. Yang penting anak keciknya happy :)
HapusWah! Seru sekali perjalanan pendakiannya. Aku belum terealisasi nih impian mengajak anak-anak mendaki. Kayaknya sih bakal sewa porter buat bawakan carrier, hahaha ...
BalasHapusSemula aku penasaran loh Mbak, ketinggiannya masih di kisaran 700an mdpl kok disebut gunung. Mungkin karena adanya magma beku di bawahnya, ya. Hmmm ... Bisa dipertimbangkan nih buat ke Purwakarta aja. Dekat kan, hihihi ...
Nah iya Mbak karena merupakan sumbat lava dari gunung api Purba. Dan biarpun tertulis hanya 792 mdpl, tetep berasa ndaki ko.
HapusAda sewa porter juga di Gunung Lembu. Kemaren sempat ada yang nawarin, tapi kita mah kagak bawa apa-apa :p
wah seru bangeeet mba, saya udah lama banget enggak traveling apalagi naik gunung hihi, baru tahu saya gunung lembu. nanti alo kondisi udah baikan mau ah jelajah ke sini juga. makasih sharingnya, mba.
BalasHapusGunung Lembu cocok buat yang udah lama gak naik. Itung-itung pemanasan dulu.
HapusKisahnya seru banget nih mba. Jelajah suwanto lama gak update yaa, atau saya aja yang sering ketinggalan update ceritanya
BalasHapusDuuh iya nih tutup muka, emang lagi gak produktif ngeblog nih.
HapusSemoga abis ini lebih rajin lagi.
Suka dengan tulisan travel feature ala Mbak Sri ini. Seakan saya jadi ikut mendaki. Yes, soalnya belum pernah sama sekali sih saya, hehe. Tapi cukup suka membaca tentang pendakian baik itu ulasan nyata seperti ini ataupun di novel dan film. Filosofi pendakian itu lho, selalu jlebb. Persis seperti caption yang Mbak tuliskan di foto-foto ini.
BalasHapusBtw, Dek Ken usia berapa, Mbak? Salut karena jago juga seperti kakak dan ornag tuanya :)
Waah, seru banget sekeluarga camping ke Gunung. Tulisannya lengkap banget, sangat bisa menjadi referensi bagi yang akan ke Gunung Lembu ya. Ditunggu cerita lainnya mbak..
BalasHapusWah. Sudah sejak lama yuni pengen mendaki. Kalau anak kecil saja bisa daki ke gunung lembu, masa iya yuni kalah.
BalasHapusOke, perlu direncanakan ini keknya.
Sayang baru tahu ya ... Anakku 3 jagoan jauh dari alam jadinya hiks
BalasHapusSubhanalloh bisa mendaki sekeluarga, nikmatnya tak terhingga bisa menghirup segarnya udara yang kaya dengan oksigen bebas.
BalasHapusHalo, salam kenal! :) Boleh minta kontak orang Gunung Lembu nya kah? Saya rencana pengen juga kesana. Terima kasih sebelumnya :)
BalasHapusHai, salam kenal. Terima kasih sudah berkunjung. Saya dapat kontak Gunung Lembu WA 083829720126.
Hapus