Nglanggeran: Memandang Semesta dari Puncak Gunung Api Purba ©Jelajahsuwanto |
“Aku juga suka naik gunung, iya kan, Bun?” si kecik 6 tahun segera nyamber. Langsung disambut gelak tawa seisi mobil. Adek kecik memang jenaka.
Siapa yang tak akan ketagihan, Nak? Pemandangan 360 derajat dari puncak gunung selalu mengingatkan betapa kecilnya kita. Hanya semesta saja yang paling megah, bukti kebesaranNYA. Ah, mendengar bicaramu, betapa bahagianya ayah bunda. Kecintaan kami pada alam menular dengan sendirinya pada kalian. Kini jelajah keluarga suwanto lengkap, travel kemana saja ayo! Mau mendaki gunung, lewati lembah, menyusur sungai, lompati samudera, Let’s go!
Pemandangan dari Gunung Bagong di kawasan gunung api purba Nglanggeran ©Jelajahsuwanto |
Siapa yang tak akan ketagihan menatap kebesaran Tuhan dari puncak api purba Nglanggeran? ©Jelajahsuwanto |
Memang semenjak diajak mendaki Bukit Doa Tomohon, Gunung Tumpa, Gunung Mahawu, dan Gunung Lokon, anak-anak lebih terbuka pilihan jelajahnya. Tidak melulu pantai. Maka, di penghujung tahun 2017, ketika akhirnya keluarga Suwanto bisa pulang sementara ke Jawa, kami sudah memutuskan akan mengunjungi Gunung Api Purba Nglanggeran, Candi Ratu Boko, Pantai Wohkudu dan Pantai Kesirat. Paket komplit jelajah di bulan Desember yang basah.
Mengapa Nglanggeran?
Selain jaraknya yang relatif dekat dari rumah eyang di Gamping, jujur gunung Nglanggeran mencuri hati karena sedang naik daun. Banyak foto hit instagramable yang diambil dari kawasan ini. Apalagi, seperti dilansir dari liputan6.com, Desa Nglanggeran didaulat menjadi desa wisata terbaik se-Asia Tenggara dan mendapatkan penghargaan dari Asean Community Bases Tourism Award (Asean CBT Award).
Paling penting, karena gunung api ini memiliki ketinggian 700 mdpl, masih ramah didaki anak kecil berumur 6 tahun. Lagi pula biarpun disebut gunung api, Nglanggeran sudah lama tidak aktif. So, selama kita-kita berhati-hati, pendakian diharapkan aman terkendali.
Secara administratif gunung api Nglanggeran berada di Desa Nglanggeran, Patuk, Gunung Kidul, Daerah Istimewa Yogyakarta. Lokasi ini mudah dijangkau, menghabiskan waktu sekitar 45 menit berkendara santai dari Gamping. Rute yang diambil, setelah Ring Road masuk ke Jalan Wonosari, naik ke Piyungan, Bukit Bintang lalu belok kiri ke Desa Ngoro-oro. Kemudian lanjut terus hingga menemukan Desa Nglanggeran. Jalannya sudah beraspal baik, cukup lebar walau sedikit berkelok-kelok.
Pemandangan dari puncak gunung api purba Nglanggeran ©Jelajahsuwanto |
Hari itu, 29 Desember 2017, jarum pendek seiko mungil di pergelangan tangan menunjuk ke angka 3 dan jarum panjang ke angka 2. Saya menuju loket kawasan ekowisata, suami parkir mobil, sedangkan anak-anak dan tantenya jajan bakso tusuk di samping parkiran. Pembagian tugas yang strategik judulnya.
“Mau mendaki saja atau camping?” tanya pemuda berkaos hitam itu santun. Berhubung kami hanya akan mendaki, maka dikenakan tiket masuk Rp.15.000,- per orang dan biaya parkir mobil Rp.5.000,-
“Mau mendaki saja atau camping?” tanya pemuda berkaos hitam itu santun. Berhubung kami hanya akan mendaki, maka dikenakan tiket masuk Rp.15.000,- per orang dan biaya parkir mobil Rp.5.000,-
Saya amati petugas yang berjaga di kawasan gunung api ini hampir semuanya anak muda. Ternyata, karang taruna secara resmi diberdayakan untuk menjaga lokasi. Sementara yang bertanggung jawab penuh mengelola kawasan ini adalah Badan Pengelola Desa Wisata Nglanggeran. Sinergi yang sangat baik, bukan? dari masyarakat untuk masyarakat.
Selamat datang di kawasan ekowisata gunung api purba Nglanggeran ©Jelajahsuwanto |
Memanjakan Pendaki
Lazuardi yang tadi setia di cakrawala, perlahan menguar terusir kelabu. Gerimis datang tanpa diundang. Baiklah, jangan rusak keseruan yang baru dimulai. Nikmati dulu bakso tusuknya dan berdoa hujan segera reda. Seperti kami, beberapa pendaki memutuskan berteduh di pendopo.
Dari segi fasilitas, kawasan wisata gunung api purba Nglanggeran memiliki area penunjang yang cukup lengkap. Pendopo, pusat informasi, jalur pendakian, pos-pos peristirahatan, tempat perkemahan, area panjat tebing, mushola, toilet, dan tempat sampah dalam keadaan baik. Bahkan, ada juga spot-spot dan ornamen unik seperti fosil dinosaurus, spot foto sarang burung, dan patung-patung tematik lainnya.
Pendopo, salah satu fasilitas wisata gunung api Nglanggeran ©Jelajahsuwanto |
Nggak bakal tersesat, banyak papan informasi di gunung api Nglanggeran ©Jelajahsuwanto |
Sebenarnya, penampakan kawasan gunung api purba Nglanggeran tidak seperti gunung pada umumnya. Malah serupa bukit-bukit batu yang gagah. Penelitian menyebutkan gunung ini berasal dari gunung api dasar laut yang terangkat menjadi daratan sekitar 60 juta tahun silam. Kemungkinan dari sinilah asal kata ‘purba’ disematkan. Yang benar, di kawasan gunung ini rasanya mustahil tersesat. Hampir di setiap area, papan-papan petunjuk arah terpampang jelas.
Jalur pendakiannya pun dibuat untuk memanjakan pengunjung. Undakan-undakan batu, tali-tali, serta kayu untuk pegangan tangan sedemikian rupa disediakan agar menjamin keamanan dan kenyamanan selama mendaki.
Kami memutuskan mendaki ketika gerimis mulai reda. Jalur pendakian sebagian besar memang berbatu, tetapi beberapa masih berupa jalan tanah. Medan tempuh menjadi licin akibat guyuran hujan. Alas kaki saya kurang mumpuni untuk situasi seperti ini, jadinya lebih enak cekeran. Lain kali, penting banget mengenakan sepatu yang enak dan nyaman saat mendaki gunung.
Isi ransel mas dipenuhi air mineral yang cukup untuk berlima, cemilan kriuk favorit, mainan dinosaurus adek, plastik sampah, syal dan perlengkapan P3K sederhana. Logistik kayak gini wajib siaga di tas. Pondok-pondok jualan ada di tiga perempat perjalanan, hampir dekat dengan puncak. Daftar menu andalannya teh panas dan mie rebus. Cocok menangkal hawa dingin gunung. Sayang, sebentar lagi senja, kami tak jadi mampir.
Yang Bikin Ketagihan Mendaki Gunung
Keren, Wow, Amazing, itulah kata-kata yang terucap saat pendakian menuju puncak Nglanggeran. Adek kecik & Mas senang sekali melewati bongkahan-bongkahan breksi andesit, melipir di celah sempit dan gelap. Memanjat batu-batu besar, melompat di antara pepohonan atau bergelayut di tali-tali. "Seru sekali di sini, aku suka, aku suka," adek kecik gembira saat melewati lubang di bawah batu raksasa. Imajinasinya melayang kemana-mana.
Ada dua pilihan jalur mendaki. Memutar gunung atau melewati dua kali celah sempit. Jalur memutar, jalannya lebih luas dan terbuka, namun waktu tempuhnya lebih lama. Mengusung konsistensi jelajah suwanto, celah sempit yang sensasional adalah jalur terpilih kami. "Lewat celah saja, kita kan suka tantangan!", Mas yang bersuara kali ini. Beruntung badan kami bukan ukuran jumbo, jalan ditengah dua tebing tinggi itu, hanya cukup untuk satu orang. Kami seperti liliput. Dua tebing ini seperti dua orang yang sedang berpelukan erat, menyisakan suar cahaya di ujung celah. Magis.
Puncak gunung api Nglanggeran berhasil dituntaskan kira-kira 1 jam jalan santai mengikuti ritme Adek kecik. Bukit-bukit batu dan lorong-lorong gaibnya membuat perjalanan ini penuh kejutan. Hutan tropis, perdu khas gunung dan semak-semak hijau yang basah menguapkan lelah. Petrikor, aroma cinta hujan dan tanah kering menenangkan hati. Cericit pipit dan burung gunung, serangga macam jangkrik dan tongeret, ramai tak mau kalah menyambut para pendaki yang terus berdatangan. Meski gerimis datang dan pergi di penghujung hari.
Tak ada kata capek atau bosan bagi anak-anak. Rasa ingin tahu mengalahkan lelah mereka. Semangat itu menular dengan antusias. Bila napas mulai senin kemis, bolehlah berhenti sejenak. Mengambil beberapa foto, atau sekedar merentangkan tangan, menghirup banyak-banyak udara segar. Seperti di Gunung Bagong, sebuah bukit batu bersisian jurang. Dari tempat ini desa-desa di lembah berpagar hutan dan antena-antena stasiun relai televisi membentuk harmoni yang indah.
Gunung Bagong, melihat pemandangan dari tepi jurang, kawasan gunung api Nglanggeran ©Jelajahsuwanto |
Selain ciri khas puncak purba, aura mistis menjadi keunikannya. Gunung api Nglanggeran bukan mengacu pada satu puncak saja. Gugusan gunung gemunung di sini adalah satu kawasan yang terdiri dari bukit-bukit atau gunung batu dengan nama yang berbeda-beda. Sebut saja Gunung Gedhe, Gunung Kelir, Gunung Blencong, Gunung Bongos, Tlogo Wungu, Gunung Buchu, Tlogo Mardhido, Talang Kencono dan Pamean Gadhung. Beberapa
tempat diantaranya memiliki mitos dan legendanya sendiri. Beberapa menjadi tempat bersemedi dan mencari wangsit. Ada pula
beberapa daerah sakral yang tidak boleh sembarang dimasuki, seperti
sumber mata air comberan.
Ketika pertama kalinya saya mendaki, seorang kawan berpesan, hati-hati jaga hati, tingkah laku dan ucapanmu saat di gunung. Ucapkan kulo nuwun, kita tidak tahu siapa yang menunggunya. Kata-kata si abang cungkring kawan saya itu, tetap saya pegang hingga kini. Anak-anak juga sudah diberitahu dengan bahasa sederhana yang mereka pahami.
Kabut berarak terlihat dari gunung api purba Nglanggeran Gunung Kidul ©Jelajahsuwanto |
Area sakral gunung api purba Nglanggeran ©Jelajahsuwanto |
Semakin ke puncak, semakin licin jalannya. Jalan tanah yang lengket karena hujan. Sewaktu mau memanjat tebing kecil, adek kecik terpeleset. Syukurlah seorang pendaki yang akan turun gunung sigap mengulurkan tangan membantunya berdiri. Banyak kebaikan di setiap jelajah kami. Salah satunya pertolongan tak terduga seperti itu.
Bagaimana dengan anak kecil ceriwis itu? celana pendeknya memiliki corak baru, warna tanah. Bukannya kesakitan dan mogok jalan, ia tertawa gembira. Pengalaman jatuh itu seperti berseluncur katanya. Adek kecik tetap membara hingga puncak. Proud of you, anak-anak!
Dinosaurus di gunung api purba Nglanggeran ©Jelajahsuwanto |
Sebentuk tangga yang terjalin dari bambu bertumpu pada bukit tertinggi Nglanggeran.Tinggal satu ini lagi saja tantangan kami. Tangga ini lebar dan cukup tinggi. Berdiri pohon rindang menaunginyai. Terlihat eksotis. Namun, sesuatu berwarna hitam menggeliat di anak-anak tangga dan pegangan kayu. Pacet. Saudara dekat lintah penghisap darah. Saya punya bayangan horor dengan pacet.
Daripada berseteru batin, saya memilih naik tangga yang lebih pendek lalu melanjutkan merayap di batu besar. Toh akhirnya sama-sama tiba di puncak dengan perasaan membuncah.
Daripada berseteru batin, saya memilih naik tangga yang lebih pendek lalu melanjutkan merayap di batu besar. Toh akhirnya sama-sama tiba di puncak dengan perasaan membuncah.
Tujuh ratus meter di atas permukaan laut, di puncak Gunung Nglanggeran, kami Keluarga Suwanto berterima kasih pada semesta, Indonesia raya yang tak tergantikan. Angin di puncak gunung berhembus lebih kencang, dingin menyergap kulit, tapi jiwa kami bebas merdeka. Masing-masing memiliki perjumpaan sendiri dengan jiwa semesta. Sebentuk syukur atas kehidupan ini.
Adek kecik dan mas-nya enggan turun. Mereka ingin berlama-lama di puncak batu. Memandang barisan bukit, gugusan lembah dan pedesaan, atau menikmati wajah embung Nglanggeran di seberang bawah sana. Oh, adek kecik malah sempat-sempatnya main Dinosaurus. Nyatanya, semua pengalaman seperti inilah yang terekam sebagai kegembiraan di alam terbuka. Pengalaman yang menjadi candu.
Terima kasih gunung api purba Nglanggeran. Jelas, pendakian kali ini bikin anak-anak betah dan ketagihan naik gunung. Semoga pesona desa wisata Nglanggeran semakin mendunia.
Adek kecik dan mas-nya enggan turun. Mereka ingin berlama-lama di puncak batu. Memandang barisan bukit, gugusan lembah dan pedesaan, atau menikmati wajah embung Nglanggeran di seberang bawah sana. Oh, adek kecik malah sempat-sempatnya main Dinosaurus. Nyatanya, semua pengalaman seperti inilah yang terekam sebagai kegembiraan di alam terbuka. Pengalaman yang menjadi candu.
Terima kasih gunung api purba Nglanggeran. Jelas, pendakian kali ini bikin anak-anak betah dan ketagihan naik gunung. Semoga pesona desa wisata Nglanggeran semakin mendunia.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar