Kete Kesu sedang hiruk pikuk ketika Keluarga Suwanto datang. Nanti malam akan digelar Toraja International Festival. Panitia berpacu dengan waktu mempersiapkan panggung bernuansa etnik. Sementara Wisatawan mancanegara dan domestik berbaur di desa adat ini. Penuh dan ramai. Masing-masing tak mau kelewatan mengabadikan deretan Tongkonan di kompleks desa adat Kete Kesu.
Kete Kesu hanya sekitar 15-20 menit dari Rante Karassik. Secara Administratif Kete Kesu berlokasi di Bonoran, Tikunna Malenong, Sanggalangi, Rantepao, Tana Toraja, Sulawesi Selatan. Keluarga Suwanto mengikuti petunjuk jalan, seperti diarahkan Pak tua yang kami temui di situs cagar budaya Rante Karassik.
Kompleks Desa Adat Kete Kesu Rantepao Tana Toraja || JelajahSuwanto |
Pedesaan Toraja tengah menghijau. Segar dan Damai. Dari jauh tergambar sebuah situs yang dominan unik. Deretan Tongkonan kontras di hijaunya alam. Pikiran saya mengembara ke sebuah novel James Redfield, The Celestine Prophecy. Membayangkan itulah Shambala #Halaaah . .
Kete Kesu adalah salah satu ikon wisata Toraja Utara. Kawasan ini menawarkan keunikan sebagai desa adat yang berusia ratusan tahun. Wisatawan dapat melihat satu kompleks Tongkonan atau rumah adat Toraja, tanah seremonial yang ditanami menhir, museum koleksi benda adat dan pusaka, serta kompleks purbakala pemakaman dan kubur batu di tebing gua.
Selain itu apabila beruntung, pengunjung dapat menyaksikan ritual acara adat masyarakat Toraja. Di Kete Kesu sering diselenggarakan upacara adat rambu solok dan ritual adat lainnya.
Souvenir khas Toraja dijual di Kompleks Desa Adat Kete Kesu Rantepao Tana Toraja || JelajahSuwanto |
Fasilitas wisata di Kete Kesu terbilang lengkap. Tempat parkir walaupun pada saat kami datang terasa sempit (saking banyaknya pengunjung) cukup baik dikelola warga setempat. Tersedia sederet toilet umum yang terletak sebelum loket tiket masuk kawasan wisata. Tempat sampah juga ada di sepanjang jalan dan di dalam kompleks desa, jadi tidak perlu alasan buang sampah sembarangan ya.
Penduduk lokal membuka warung-warung souvenir di tempat yang telah disediakan. Cenderamata seperti: aksesoris khas Toraja, manik-manik, kaos, kain tenun Toraja, lukisan, pahatan dan sejenisnya bisa diboyong dengan harga pantas.
Tiket masuk kawasan Kete Kesu per orang kala itu hanya Rp.5.000,- Terjangkau bukan?
Tongkonan berusia ratusan tua di desa adat Kete Kesu Tana Toraja || JelajahSuwanto |
Memasuki kompleks Kete Kesu, kami terpukau oleh jejeran rumah adat Toraja. Yang tadinya cuma lihat di gambar kini nyata di depan mata. Bangunan rumah dengan atap melengkung ini tak menampakkan keuzuran ratusan tahun lalu. Ia masih gagah dan kokoh. Lumut yang tebal di atap bambu bisa jadi adalah saksi hidup perjalanan waktu sang tongkonan.
Tongkonan sendiri adalah rumah tradisional Toraja yang terbuat dari kayu. Atapnya melengkung serupa perahu terjalin dari susunan bambu. Tongkonan berasal dari bahasa Toraja (Kete’Kesu): “Tongkon” yang berarti duduk bersama. Terdapat 6 Tongkonan dan 12 Alang Sura atau lumbung padi yang saling berhadap-hadapan.
Tongkonan ini dibangun oleh Puang Ri Kesu, kemudian diwariskan turun temurun kepada sanak familinya. Tongkonan masih terawat dan terjaga kelestariannya. Sebuah penghargaan yang tak terhingga.
Tongkonan sendiri adalah rumah tradisional Toraja yang terbuat dari kayu. Atapnya melengkung serupa perahu terjalin dari susunan bambu. Tongkonan berasal dari bahasa Toraja (Kete’Kesu): “Tongkon” yang berarti duduk bersama. Terdapat 6 Tongkonan dan 12 Alang Sura atau lumbung padi yang saling berhadap-hadapan.
Tongkonan ini dibangun oleh Puang Ri Kesu, kemudian diwariskan turun temurun kepada sanak familinya. Tongkonan masih terawat dan terjaga kelestariannya. Sebuah penghargaan yang tak terhingga.
Kayu uru untuk membuat tongkonan di kompleks desa adat Kete Kesu Tana Toraja || JelajahSuwanto |
Kayu yang menjadi bahan dasar tongkonan ini eksotis menurut saya. Warna abu-abu tuanya melambangkan kekuatan. Kata ibu penjual souvenir, kayu ini bernama Kayu Uru. Banyak ditemui di hutan sekitar karena merupakan kayu lokal Sulawesi. Kualitasnya
tentu saja sudah teruji dengan sangat baik. Bayangkan kayu ini sudah
melewati masa ratusan tahun. Katanya tongkonan yang tertua lebih dari
300 tahun.
Tongkonan yang khas dan megah ini seakan memiliki ruh. Bentuk, arah, ornamen dan segala aspeknya dibuat dengan matang. Saya percaya pasti sarat dengan makna filosofis.
Sekilas ornamen dan motif setiap tongkonan seakan sama. Saya tidak tahu pasti yang sesungguhnya. Tapi ibu penjual souvenir bilang motif-motif tersebut selalu dilukis memakai empat warna dasar. Putih, merah, hitam dan kuning. Keempat warna yang ternyata berasal dari tanah liat ini tidak sembarangan. Mereka mempunyai arti khusus. Kalau saya tak salah ingat, putih melambangkan kesucian, merah: kehidupan manusia, hitam: kematian dan kuning melambangkan anugerah kekuasaan Tuhan (Puang Matua).
Sekilas ornamen dan motif setiap tongkonan seakan sama. Saya tidak tahu pasti yang sesungguhnya. Tapi ibu penjual souvenir bilang motif-motif tersebut selalu dilukis memakai empat warna dasar. Putih, merah, hitam dan kuning. Keempat warna yang ternyata berasal dari tanah liat ini tidak sembarangan. Mereka mempunyai arti khusus. Kalau saya tak salah ingat, putih melambangkan kesucian, merah: kehidupan manusia, hitam: kematian dan kuning melambangkan anugerah kekuasaan Tuhan (Puang Matua).
Banyaknya kepala kerbau di muka tongkonan menunjukkan status sosial pemiliknya || JelajahSuwanto |
Di depan Tongkonan tersusun tanduk kerbau secara vertikal. Kerbau tidak bisa dipisahkan dari adat masyarakat Toraja. Tanduk kerbau merupakan lambang status sosial bagi mereka. Semakin banyak jumlah tanduk kerbau di muka tongkonan, semakin tinggi status sosial tuan rumah. Harga Kerbau di Toraja sangat mahal bisa puluhan hingga ratusan juta rupiah per ekornya.
Seorang lelaki separuh baya, baru saja membuka pintu tongkonan. Salah satu tongkonan di Kete Kesu telah dialihfungsikan menjadi museum.
Berhubung di luar masih riuh dengan wisatawan yang berfoto, tepat bagi kami melipir masuk Museum. Masih sepi. Puas mengamati setiap koleksinya.
Seorang lelaki separuh baya, baru saja membuka pintu tongkonan. Salah satu tongkonan di Kete Kesu telah dialihfungsikan menjadi museum.
Berhubung di luar masih riuh dengan wisatawan yang berfoto, tepat bagi kami melipir masuk Museum. Masih sepi. Puas mengamati setiap koleksinya.
Jangan ambil benda keramat atau benda apapun dari kawasam Kete Kesu Tana Toraja || JelajahSuwanto |
Jangan coba-coba mengambil benda keramat dari situs ini atau apapun dari Tana Toraja. Karena tak tahan, setiap saat dibayangin mimpi buruk, wisatawan dari Manchester ini terpaksa mengembalikan hasil colongannya. Begitu kata bapak kurator Museum Kete Kesu saat menjelaskan koleksi yang dipamerkan. Ihh, horor 😱
Museum Kete Kesu menyimpan koleksi pusaka dan keramat yang terbilang lengkap. Benda-benda pusaka disimpan dalam lemari kaca dengan pencahayaan temaram. Semua koleksi dipajang di dua lantai bangunan tongkonan. Senjata, keris bersepuh emas dan Bendera Merah Putih yang konon pertama kali dikibarkan di Tana Toraja masih tersimpan baik.
Saya kagum dengan kehidupan Masyarakat Toraja, sejak dahulu mereka sudah mempunyai ciri khas dan ketelitian seorang ahli. Koleksi aksesorisnya mudah dikenali karena warnanya yang khas. Ukiran dan hasil pahatan cantik dan rapi. Peralatan rumah tangga mereka juga yang terbuat dari besi, kayu dan tembikar, begitu halus hasilnya.
Koleksi Museum Kete Kesu Tana Toraja || JelajahSuwanto |
Lukisan dan tau-tau di Musem Kete Kesu Tana Toraja || JelajahSuwanto |
Koleksi museum ini sebagian besar adalah milik sesepuh setempat yang dihormati, Indo’ Ta’dung. Beliau adalah kolektor dan pedagang barang antik. Tak heran jika ada keramik dan kain dari Cina menjadi bagian dari koleksi. Pula terdapat berbagai pecahan mata uang yang digunakan kala itu. Selain itu koleksi museum juga mendapat sumbangan dari kerabat keluarga lainnya.
Kira-kira 15 menit berlalu, orang-orang mulai menyerbu Museum. Terasa gaduh dan sumpek. Gantian deh.
Keluarga Suwanto kemudian mampir ke bengkel pahat dan ukiran di sebelah Museum. Di sini saya mengobrol dengan ibu pemiliknya. Ukiran dan pahatan di warung ini dibuat pribadi oleh putranya. Ibu ini ramah, sabar menghadapi kebawelan saya. Kami diberitahu ada situs purbakala tempat pemakaman di tebing gua persis di belakang Kete Kesu.
Kira-kira 15 menit berlalu, orang-orang mulai menyerbu Museum. Terasa gaduh dan sumpek. Gantian deh.
Keluarga Suwanto kemudian mampir ke bengkel pahat dan ukiran di sebelah Museum. Di sini saya mengobrol dengan ibu pemiliknya. Ukiran dan pahatan di warung ini dibuat pribadi oleh putranya. Ibu ini ramah, sabar menghadapi kebawelan saya. Kami diberitahu ada situs purbakala tempat pemakaman di tebing gua persis di belakang Kete Kesu.
Pemakaman gua berusia ratusan tahun di belakang kompleks Kete Kesu || JelajahSuwanto |
Peti, tulang dan sesajen terserak di kubur batu di pemakaman desa Kete Kesu || JelajahSuwanto |
Pemakaman Gua
batu kapur di belakang kompleks tongkonan diperkirakan berusia lebih dari 500 tahun. Peti mati
atau erong dalam bahasa setempat dipahat mirip sampan. Diletakkan
tergantung di tebing mulut gua batu.
Tiba di atas gua, peti, tengkorak, tulang-tulang dan sesajen berserak di dalam kubur batu. Saya sih berasa mistis yaa..
Saya lihat ada juga kipas angin, kursi, buku, rokok. Katanya itu adalah barang - barang yang dulunya digunakan almarhum semasa hidup. Pokoknya dengar-dengar kata peringatan penduduk setempat jangan mengganggu atau mengambil apapun juga dari situs ini.
Mendaki dan menuruni pemakaman gua batu Kete Kesu || JelajahSuwanto |
Patene dan Tau-tau di Kete Kesu || JelajahSuwanto |
Dalam hati saya berdoa terus, soalnya bawa anak balita. Doanya sih biar dia gak minta gendong. Hehe. Gak ding. Adek kecik ini cukup tangguh ko,
semangat manjat ke gua batu luar biasa. Turunnya saja yang sempat
mogok sedikit. Sudah resiko bundanya untuk membopong si kecik sejenak.
Sebelum mendaki gua batu, kami melewati bangunan dengan peti berornamen matahari. Tempat ini adalah Patene atau makam modern yang berbentuk rumah. Di dalam tempat ini bisa tersimpan banyak peti. Ada juga tau-tau atau patung yang digunakan untuk upacara pemakaman adat Toraja. Tau-tau dikunci di dalam ruangan khusus, berjaga-jaga dari tangan usil yang ingin mencurinya.
Desember di Kete Kesu || JelajahSuwanto |
Hari semakin siang, tetapi tidak terik di Kete Kesu. Udara pegunungan bulan Desember semilir menyegarkan jiwa. Keluarga Suwanto cukup puas menjelajahi kompleks desa adat Kete Kesu, situs Shambala khayalan Bunda.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar