TK Satap di Kampung Buntutuleng Pulau Liukang Loe, Bira, Bonto Bahari, Bulukumba, Sulawesi Selatan +fotojelajahsuwanto+ |
Bukan Jelajah Keluarga Suwanto namanya, jika tidak apruk-aprukan alias menjelajah dalam perjalanan kami. Pun pada kesempatan kali ini, di suatu pulau, bernama Pulau Liukang Loe.
Setelah malam dan pagi yang menyenangkan karena acara Berkemah di Pulau Liukang Loe, Ayah dan bunda minta pendapat mas dan adek, apakah mereka mau ikut menyusur Pulau atau istirahat di penginapan?
Anak-anak memilih bermain di tenda. Mas siap sedia menjaga adiknya.
"Adek tidak akan cari-cari Ayah Bunda, mau main hotwheel sama mas saja" Begitu janji adek.
Kami sepakat sebelum waktu makan siang, Ayah dan Bunda sudah kembali ke penginapan. Itu berarti ada waktu sekitar 1,5 jam untuk menjelajah. Ok, Let’s eksplor the island!
Liukang Loe adalah pulau dengan gugusan karang berbukit seluas 5,67 km persegi dan pesisir pantai sekitar 3km. Pemukiman warga terpusat di pesisir pantai, yang terbagi di dua kampung yaitu Buntutuleng dan Passilohe. Ada sekitar 300 kepala keluarga tinggal di pulau ini.
Kampung Buntutuleng berada di sebelah utara Pulau yang berhadapan dengan Pantai Bira. Di sinilah kami menginap, di ujung kampung, dekat ceruk karang. Buntutuleng merupakan serambi Pulau Liukang Loe. Para wisawatan singgah dan berekreasi di pasir putihnya yang indah.
Setelah malam dan pagi yang menyenangkan karena acara Berkemah di Pulau Liukang Loe, Ayah dan bunda minta pendapat mas dan adek, apakah mereka mau ikut menyusur Pulau atau istirahat di penginapan?
Anak-anak memilih bermain di tenda. Mas siap sedia menjaga adiknya.
"Adek tidak akan cari-cari Ayah Bunda, mau main hotwheel sama mas saja" Begitu janji adek.
Kami sepakat sebelum waktu makan siang, Ayah dan Bunda sudah kembali ke penginapan. Itu berarti ada waktu sekitar 1,5 jam untuk menjelajah. Ok, Let’s eksplor the island!
Liukang Loe adalah pulau dengan gugusan karang berbukit seluas 5,67 km persegi dan pesisir pantai sekitar 3km. Pemukiman warga terpusat di pesisir pantai, yang terbagi di dua kampung yaitu Buntutuleng dan Passilohe. Ada sekitar 300 kepala keluarga tinggal di pulau ini.
Kampung Buntutuleng berada di sebelah utara Pulau yang berhadapan dengan Pantai Bira. Di sinilah kami menginap, di ujung kampung, dekat ceruk karang. Buntutuleng merupakan serambi Pulau Liukang Loe. Para wisawatan singgah dan berekreasi di pasir putihnya yang indah.
Suatu pagi di Buntutuleng, Pulau Liukang Loe, Bira, Bonto Bahari, Bulukumba, Sulawesi Selatan +fotojelajahsuwanto+ |
Sebuah jalan kecil yang sudah dicor membelah perumahan warga. Rumah-rumah di sini seperti halnya rumah khas sulawesi, berbentuk panggung. Di atasnya sebagai ruang utama dan dibawahnya dipakai untuk berbagai kegiatan. Ada yang dipakai untuk menyimpan peralatan nelayan, melaut, juga menenun.
Seorang Ibu sedang menenun di bawah rumahnya di Buntutuleng, pulau Liukang Loe, Bira, Bontobahari, Sulawesi Selatan +Fotojelajahsuwanto+ |
Kain tenun menjadi salah satu daya tarik dan sumber penghasilan bagi warga Pulau Liukang Loe. Peralatan yang digunakan masih tradisional, begitu pula dengan pewarnaannya. Pula untuk motif tenunnya tidak pernah berubah, tidak jauh dari unsur laut, gelombang. Ibu yang saya temui membutuhkan waktu sekitar 1 – 2 bulan untuk menghasilkan kain tenun khas ini. Tidak heran, jika harga kain tenun ini berkisar dari 350ribu ke atas.
SDN 170 Liukang Loe dan SMPN Satap 1 Pulau Liukang Loe, Bira, Bontobahari, Bulukumba, Sulawesi Selatan +Fotojelajahsuwanto+ |
Sebelum
ujung barat pulau, terdapat sebuah sekolah untuk melayani pendidikan
anak-anak di seluruh pulau, dari Buntutuleng dan Passilohe. Hanya satu
sekolah untuk rame-rame, SD Negeri No.170 Liukang Loe, NSS:
10.1.19.11.05.016 Kecampatan Bonto Bahari, Bulukumba dan SMPN Satap 1
Bontobahari. SMPN Satap ini baru dibuka. Waktu kami datang pada tahun 2013, SMP masih dalam tahap rencana.
Sarana bermain untuk anak-anak TK yang sudah tidak layak di TK Satap, Pulau Liukang Loe, Buntutuleng, Bira, Bonto Bahari, Bulukumba, Sulawesi Selatan +fotojelajahsuwanto+ |
Masih
di komplek sekolah, ada satu bangunan lagi, TK Satap. Halamannya
membuat miris. Lihat saja ayunan dan jungkat-jungkitnya. . . . rapuh dan
rusak. Tidak layak pakai untuk bermain anak-anak.
Keseluruhan
bangunan sekolah beratap asbes, berpagar bambu. Sementara kantor guru
terbuat dari kayu bercat krem dan hijau. Halaman sekolah yang minim
terasa lengang dan gersang. Ada sesuatu yang tertinggal di hati … Kesan
sederhana sekolah pulau ini, apakah juga menjadi potret pendidikan di
pulau-pulau terpencil Indonesia kita?
Hanya perlu berjalan santai sekitar 15 menit ke arah barat, kami sudah sampai di ujung pulau. Persis setelah sekolah, ada pemakaman warga, yang langsung tersambung dengan pantai yang berbatasan dengan Laut Flores. Perairan di barat ini lebih bergelora di banding utara pulau. Tidak jarang, ada yang hanyut terbawa arus laut. Pasirnya memang lebih lembut, tetapi kurang nyaman untuk bermain-main di sini, ombak dari laut lepas terasa mengintimidasi saya.
Sisi barat Pulau Liukang Loe, berbatasan dengan Laut Flores +fotojelajahsuwanto+ |
Warga di Buntutuleng ramah-ramah, senyum mengembang setiap kami berpapasan. Saya bertanya pada seorang Ibu, ketika kami balik arah hendak menyambangi kampung sebelah. “Ikuti saja jalan ini nak, nanti berakhir di Passilohe”
Dari ujung Buntutuleng, jalan cor mulai mendaki. Sebuah bangunan menyendiri menimbulkan Oohh buat kami. OOOh, ini tho yang disebut-sebut puskesmas oleh Pak Jafar, pemilik penginapan kami. Di sana tertulis POSKEDES (Pos Kesehatan Desa) LIUKANG LOE. Rumput liar subur disamping kiri kanan bangunan membuat penampakannya “agak-agak gimana, gitu”.
Sedang celingak-celinguk mengamati bangunan poskedes, ternyata di terasnya ada dua anak gadis berseragam pramuka sedang duduk berselonjor. Saya tersenyum dan menyapa mereka: “Hai, kami mau ke Passilohe, betul jalan ini yang harus dilalui?”
“Iye, bareng saja, kami juga mau pulang” mereka bangkit dan mendekati kami.
“Ooh, rumahnya di Passilohe ya?, Kebetulan dong, lagi pada ngapain di Poskedes?” saya memulai percakapan.
“Istirahat dulu, capek, habis pulang sekolah, panas, jalannya masih jauh” jawab anak yang bongsor berderet-deret.
Yess, akhirnya kami berjalan beriringan. Anak-anak polos ini bercerita banyak hal tentang kampung mereka. Setiap hari mereka berjalan kaki menuju sekolah, pulang pergi. Butuh waktu sekitar 30 menit sekali jalan. Belum lagi, siang di pulau yang cukup terik.
“Sekarang sih enak, jalannya sudah dibeton, dulu serem, licin”
“Kalau magrib sudah tidak berani lewat jalan ini, soalnya ada ular besar, juga ada suara-suara seperti orang menangis”
Jalan menuju Passilohe membelah bukit karang yang sudah terpetak-petak. Pohon kelor banyak tumbuh di sini, perdu dan saliara berbunga oranye bergerombol cerah. Tidak ada rumah sama sekali. Hanya suara alam, angin semilir dan debur ombak dari perairan timur. Pulau Kambing ada di timur Liukang Loe.
Pantas saja jika mereka enggan melewati jalan ini di malam hari.
Jalan Buntutuleng - Passilohe, di tengah bukit karang +Fotojelajahsuwanto+ |
Percakapan dengan anak-anak itu masih terekam di benak saya hingga sekarang. Diantaranya tentang guru mereka yang datang dari Bira, belum ada guru dari atau yang tinggal di Pulau Liukang Loe. Jadi, kalau cuaca sedang tidak bersahabat, dan guru tidak bisa datang, anak-anak itu akan pulang kembali tanpa pelajaran.
“Kalian kelas berapa?” tanya saya
“Kelas 6, besok Senin mau ujian nasional, harus menyeberang ke Bira. Kalau ombaknya tenang, berangkat” gadis yang lebih mungil menjawab
“Ooo.. iya ombaknya sedang besar ya smalem, semoga besok senin tenang dan kalian bisa mengerjakan ujiannya dengan lancar" doa tulusku untuk anak-anak itu.
Tiba-tiba si bongsor mengejutkan saya dengan pertanyaannya “kalau kamu kelas berapa?”
“Whaaaaatt??? Wkwkwkwk…
kayaknya ada yang ketawa puas di belakang saya . .
“Setelah lulus langsung lanjut SMP ya”
“Emm iya pengennya begitu”
“Koq pengennya begitu, emang kenapa?”
“Tergantung orang tua, anu kakakku laki-laki kelas 1 SMP tidak lanjut sekolahnya, disuruh kerja sama bapak di kapal, berlayar ke malaysia”
“Ada teman juga mau menikah karena sudah ada jodohnya”
“Emm.. koq masih gitu ya, sebisa mungkin sekolah yah, kalian masih kecil begini, belum waktunya menikah”
“Iyaa maunya”
Naah ternyata, di bagian lain Indonesia, di tahun yang sudah melewati milineum ini, tahun 2015, masih juga ada anak-anak usia dini yang menikah dan harus bekerja. Sedih.
“Sebentar lagi, kita sampai, nanti kalau sudah ketemu turunan, Passilohe di bawahnya” Si mungil memberi info.
Dan ya, setelah melewati kesunyian alam dan cerita seru anak-anak gadis itu, sebuah perkampungan yang lebih besar dari Buntutuleng berderet rapi. Passilohe adalah perkampungan nelayan. Terletak di sisi selatan pulau Liukang Loe. Pulau Selayar terpampang di depannya.
Rumah-rumah warga di sini terlihat lebih besar, banyak parabola nangkring di atap rumah. Listrik seperti halnya di Buntutuleng disediakan swadaya oleh warga menggunakan genset. Untuk keperluan air bersih, pulau yang indah ini telah bermurah hati menyediakannya dari kedalaman perutnnya.
Pasir Pantai Passilohe, putih lembut. Tapi air dekat pantai langsung terasa dalam, apalagi buat saya, yang kakinya pendek .. :) Passilohe belum diekspos untuk wisata.
Hampir tengah hari, sang surya semakin terik. Di bale-bale di pinggir pantai, beberapa warga sedang beristirahat. Perahu-perahu mereka masih tertambat. Dan tepat di pertigaan jalan, rombongan kecil kami berpisah. Anak-anak itu akan pulang ke rumahnya di arah kiri.
Waktu 1,5 Jam kami hampir berakhir. Baiklah, untuk Passilohe harus dicukupkan melihat dari perbatasannya saja. Siapa tahu, lain waktu, bisa datang kembali.
“Sampai jumpa ladies, sukses buat ujiannya dan masa yang akan datang"
Gadis-gadis Passilohe, Pulau Liukang Loe +Fotojelajahsuwanto+ |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar