Senja di Pulau Liukang Loe +fotojelajahsuwanto+ |
Sore itu setibanya kami di Bira, Bu Riswan, istri
pemilik Riswan Guest’s House merekomendasikan untuk terlebih dahulu
mengunjungi Pulau Liukang Loe. Kami bisa menikmati matahari senja yang
akan segera masuk ke peraduannya. Sekaligus makan siang yang tertunda di
Pulau.
Perahu motor yang akan mengantar ke pulau Liukang Loe +fotojelajahsuwanto+ |
Perahu motor ditambatkan di sebuah ceruk yang indah. Pantai pasirnya putih dengan tekstur yang lebih kasar dari pantai bira yang sehalus bedak.
Mungkin pasir di Liukang Loe terbentuk dari pecahan milyaran kerang.
Mungkin pasir di Liukang Loe terbentuk dari pecahan milyaran kerang.
Ceruk berpasir putih, bibir pantai Pulau Liukang Loe +fotojelajahsuwanto+ |
Anak-anak seperti biasa, larut dengan lautan. Ada banyak cara bagi mereka untuk menikmatinya. Mas langsung menceburkan diri ke laut jernih, meninggalkan kami begitu saja di bibir pantai. Anak ini, mungkin saja pernah menjadi pelaut, anak pantai atau malah mahkluk laut di kehidupan sebelumnya, dia begitu “hidup” jika bertemu laut.
Sementara adiknya sudah siap tempur dengan perlengkapan ember, sekop kecil, truk dan mobil kesayangannya. Bersama Pak Bahri yang sudah tertular keriangan anak kecil, mereka membuat sirkuit formula one di pasir.
Anak-anak dengan dunianya masing-masing di Liukang Loe +fotojelajahsuwanto+ |
Seorang Bapak warga Pulau Liukang Loe yang ramah menyapa kami. Darinya, kami mendapat informasi, Pulau ini telah dihuni oleh sekitar 1000 jiwa. Pelayanan publik yang tersedia adalah Puskemas dan Sekolah Dasar. Sekolah Menengah Pertama akan segera dibangun, dan untuk Sekolah Menengah Atas, sementara ini tentu saja harus menyeberang ke Bira. Pasokan listrik di Pulau Liukang Loe hanya sampai jam 11 malam. Setelah itu, warga harus berikhtiar sendiri untuk penerangan di malam hari.
Setelah memesan makanan di warung yang nampaknya hanya satu-satunya di pantai itu, ayah menarik bunda melarikan diri. Kami cepat-cepat mengejar sunset di dermaga kayu. Terima kasih ya Pak Bahri mau menjaga anak-anak sebentaar saja :D
Matahari hampir tenggelam di ufuk barat. Beruntung, kami masih bisa menyaksikannya menuju pangkuan bumi. Kuning, putih, jingga, di langit biru lembayung, itulah senja dari dermaga Liukang Loe. Romantis.
Secepat tengelamnya matahari, cepat terdengar juga suara teriakan anak-anak di kuping ayah bunda. Benar saja, dari atas dermaga kami melihat dua anak ajaib itu berteriak-teriak di boat. Rupanya mereka diantar Pak Bahri menjemput kami.
Mungkin kepala pak bahri dipenuhi kata-kata: “beeuh gak sopan nih bapak ibu, saya disuruh jaga anak, mereka malah berduaan”
Tidak, ternyata Pak Bahri hanya ingin memberitahu bahwa makanan pesanan kami sudah siap. Kami harus segera makan dan kembali ke Bira, karena air laut mulai pasang.
Pemilik warung makan, menawarkan kami kamar untuk meginap. Ia memiliki dua kamar tidur menghadap pantai. Satu kamar sudah diisi oleh bapak dan 2 putrinya, bule perancis yang memberi adek dua kepiting kecil. Sayang sekali, informasi pulau ini baru kami ketahui. Rasanya ingin bermalam di Pulau ini, karena sepinya, serasa kita memiliki pulau sendiri... Next time, We’ll be back.
Malam mulai turun, baru sekitar Pkl.18.30 WITA sebenarnya, tapi Pak Bahri mengingatkan kembali, air laut mulai pasang. Sudah waktunya kami kembali ke Bira. Apa boleh buat, sejujurnya, kami masih betah di Pulau itu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar